Rabu, 07 September 2011

religi

belajar bersabar
Belajar cara untuk mengerti, memahami dan kemudian mencoba mengaflikasikannya kedalam realitas diri. Mungkin kalimat seperti itu yang aku rasa tepat yang bisa di gunakan untuk mewalili kegundahan pikiranku saat ini. Kegundahan yang normal dan normaif sebenarnya saat di selah selah waktu yang sebagian besar luang, akhirnya ak coba gunakan dan mengisinya dengan melihat dan memikirkan fenomena sosial manusia saat ini. Entah harus melihanya dari sisi yang sebelah mana harus aku mulai menuliskannya. Yang pasti apa yang pernah ak lihat dan apa yang pernah dipikirkan sudah membuat kegundahan ini makin dirasa meresahkan.
Menuliskan tentang manusia mungkin saja terlalu luas bila ak harus jelaskan. Entah harus dengan menggunakan ukurang apa hingga ak bisa menyatakan luas. Tapi, mungkin saja hal itu aku gunakan karena ketidak mampuan aku untuk menjelaskan dengan sebagaimana mestinya.
Akhirnya aku mulai ingat akan apa yang ingin aku tuliskan. Yakni mengenai kalimat pernyataan di dalam ajaran Islam yakni ; “manusia itu adalah mahluk yang paling mulia yang di ciptakan oleh Tuhan bila di bandingkan dengan mahluk lainnya” entah dari sisi yang mana , kemuliaan/mulianya manusia itu berada. Karena bila kita lihat dari fenomena realitas sosial masyarakat pada saat ini. Benarkah sudah mencerminkan akan kemuliaan sesosok mahluk yang bernama manusia? Benarkan apa yang sudah dilakukan merupakan cerminan yang seharusnya manusia lakukan. Benarkan semua prilaku yang keluar dari sosok tubuh yang ada adalah prilaku dari manusia sebenarnya.? Lantas bagaimana idealnya manusia agar bisa berprilaku sesuai dengan kodratnya sebagai manusia, yang berpegang pada ajaran islam?
Bangsa indonesia ini di huni oleh mayoritas penduduknya memeluk ajaran islam, tapi coba kita lihat dalam kenyataannya. Mulai dari para pengelola Negara sampai pada rakyat jelata hampir semuanya memiliki peranan dengan mengarah pada kegagalan untuk menjadi sosok manusia seutuhnya menurut ajaran islam. Koroptor, para mafia dalam pemerintahan, pencuri, pemabuk, penjudi, penipu dan bahkan para pelacur yang mengisi komplek komplek prostitusi, pada umumnya bila kita lihat identitas di KTP rata rata mereka meyakini islam sebagai agamanya. Tapi apakah seperti itu sangat sesuai dengan etika manusia yang menjadikan islam sebagai agamanya. Bahkan tidak sedikit pula orang-orang berjanggut panjang, berjubah dan mengidentikan diri pada keislaman. Serta tidak sedikit pula para pemuka agama yang paham dan pintar memaknai lafad-lafad kitab suci yang tertulis nyata. Tapi tidak paham benar akan siapa dirinya dan dimana wilayahnya yang terjebak dan terbawa nafsunya.
Bagi ak sendiri meyakini Islam tak pernah mengajarkan mahluk yang bernama manusia mengajarkan untuk menjadi hal yang dipaparkan di atas. Walaupun tidak menutup kemungkinan jika hal itu sudah menyangkit dengan kehendak sang esa. Karena bagaimanapun juga, yang esa masih memerlukan manusia untuk di jadikan contoh ketidak baikan bagi manusia dengan menggunakan manusia agar sesuai dengan kehendak yang esa. Walaupun dengan pengecualian orang yang di jadikan contoh ketidak baiakan memiliki kesadaran akan kehendaknya yang esa, atau mungkin dia memang di butakan akan hal ketuhanan. Hanya saja walau sosok manusia itu sadar akan kehendaknya yang esa lantas yang menjadi pertanyaan kemudian seberapa besar seseorang mampu menerima dan diperlakukan demikian. Dan pasti pembahasannya akan menjadi lain bila harus di sangkutkan ke hal ketuhanan. Tapi bagi aku hal ini merupakan hal wajar juga sebagai bahan perenungan diri kita.
Memang sangat disayangkan, karena sesuatu hal yang sudah dinyatakan tapi kita tak mampu mempertanggung-jawabkannya. Memang pada dasarnya kita tak memiliki kemampuan apapun jika bukan karena ijin yang Esa. Kita tak mampu melakukan apapun.
Sayangnya yang bersemayam dalam sosok tubuh ini bukan cuman manusia, tapi para malaikat dan para iblis yang tercermin dalam sifatnya, yakni setan. Tidak mudah memang, akan tetapi tidak juga merupakan hal yang sulit, jika kita mulai belajar berproses agar bisa menjadi manusia seutuhnya. Pertenangan demi pertentangan yang ada di dalam diri seperti menjadi hal yang biasa, hingga akhirnya hanya menimbulkan pembenaran demi pembenaran akan apa yang sudah dilakukan. Entah pembenaran yang kita gunakan merupakan pembenaran yang keluar dari kebenaran atau pembenaran yang kita gunakan untuk menutupi ke Ego an.
Memang butuh waktu yang harus kita luangkan untuk memahami benar akan sifat manusia yang sebenarnya. Mungkin itu hal biasa dan bukan merupakan hal yang bisa menarik hati kita. Bahkan jika saja aku berhak menilainya. Bagi aku prilaku manusia saat ini hanya berbatas pada keegoan untuk menutupi kepicikan-kepicikan yang tersembunyi di dalamnya. Mungkin hal ini sangatlah konyol, bahkan pernyataan yang tidak punya dasar apapun. Tapi sesekali coba kita lihat keadaan sebenarnya : dalam realitas sosial yang ada saat ini sebagian besar manusia hanya mengharapkan hal yang menguntungkan bagi stiap individu, bukankah disisi lain kita sudah mengingkari realitas yang lain. Yang di dalam kenyataannya dualism kehidupan tidak bisa terlepas dari manusia itu sendiri.
Dalam bagian yang lain, coba kita lihat di sekitar kita. Dan rata rata setiap manusia menginginkan hidup sennang, kaya raya, punya pendamiping hidup yang sangat mencintai dan menyayangi tampan/cantik di tambah penurut. Ingin melakukan hal apapun yang diinginkan sebebas bebasnya tanpa batas.mati tidak di siksa di hari akhir di masukan ke surga. Memang indah sempurna sekali. Tapi apakah itu mungkin.? Memang tidak ada hal yang tidak mungkin bagi pemilik semesta ini, tapi sayangnya kita masih berwujud manusia.
Kadang kita tidak bijak memperlakukan diri kita. Tanpa sadari kita hanya mengklaim sesuatu yang sebenarnya bukan milik kita. Kita seolah baik dengan cara mengasihi dan saling berbagi padahal nyata nyata yang meberi itu sebenarnya bukan kita tapi tangan kita. Kita solah perhatian dan menyayangi sesame mahluk yang sedang terluka. Padahal nyata-nyata bahwa kasih yang Esa tak akan pernah kekurangan untuk menyayangi mahluknya yang sedang terluka atau bersedih. Tanpa kita sadari kita di dorong oleh para iblis bahwa semua yang dilakukan karena kebaikan diri kita.
Tidak sedikit wilayah yang bukan wilayah kita. Kita gunakan untuk kepentingan dan pemenuhan nafsu dalam diri. Bahkan terkadang kita tidak segan memerintah yang Esa untuk mengikuti ingin dan nafsunya kita. Memang pada dasarnya Ia lah tempat dimana semua mahluk bergantung, Ia pemilik alam semesta dan kepadanyalah kita hanya di haruskan meminta segalapertolongan. Tapi sayangna kita tidak pernah tahu bagaimana cara meminta yang sesuai dengan kehendaknya dia, atau mungkin kita sebenarnya yang tak mengenal siapa yang sudah menciptakan kita. Sehingga sifat manusiawi yang dijadikan pembenaran untuk menutupi kebodohan kita yang sebenarnya.
Kadang aku sempat juga berpikiran dengan mempertanyyakan kenapa manusia di perintahkan untuk beribadah oleh yang Esa. Tapi disisi lain memang belum paham juga apakah mahluk lain selain manusia di perintahkanjuga untuk beribadah secara langsung oleh Tuhan. Sebagaimana perintah ibadah itu jelas seperti yang di kisahkan oleh para utusan di bumi dalam pewahyuan.
Salah satu alasan yang paling memungkinkan kenapa manusia di perintah untuk beribadah karena manusia satu satunya mahluk yang tidak pernah menempati wilayahnya, tidak pernah menempati tadkirnya. Lain dengan binatang. Para binatang tidak pernah diperintah langsung untuk beribadah karena mereka sudah menempati wilayahnya, alamnya dan takdirnya. Para binatang tidak pernah complain pada yang menciptakan dan tidak pernah mempertanyakan kenapa mereka di jadikan dengan bentuk seperti itu, atau kenapa mereka harus di ciptakan. Dan mungkin bila kita melihat mahluk yang lain, maka dengan berada di wilayahnya berada dalam takdir dan kehendaknya kita akan bisa menjadi manusia ideal layaknya yang terkandung dalam ajaran Islam. Aminn…

religi

Lebaran yang dirayakaan
Setelah sebulan lamanya menunggu dan akhirnya waktu yang di tunggu tiba juga. Bukan Cuma dengan berdiam diri kita menunggu datangnya momen itu, tapi dengan menjalani puasa menahan lapar dan dahaga hari raya itu akan bisa di rasakan dengan perasaan yang beda. Berbagai macam jenis kebahagiaan sudah barang tentu kita bisa rasakan…ada kepuasan tersendiri saat merayakan hari raya itu bila kita mengikuti prosesnya dari awal.
Hanya saja untuk kali ini ak sendiri merasakan perbedaan yang sangat berbeda disaat hari raya tiba, tidak ada kebahgiaan, tidak ada ketakutan, tidak ada kesedihan, bahkan tidak juga merasakan hal yang sebaiknya, tidak merasakan keceriaan tak merasakan geregetnya hati saat waktu yang kita nanti kita alami. Aku tidak terlalu memahami benar bagaimana menjelaskan yang aku rasakan saat ini. Aku percaya ini bukan sebentuk kehampaan hati atau kefanaan jiwa, karena awal menjelang puasa aku merasakan kekhawatiran yang sangat, tapi saat ini perasaan khawatir tidak sedikitpun aku rasakan. Padahal sehari menjelang puasa duit yang ada di kanong saku cuman 14 rb, itupun sebagian sudaah ak belikan sebungkus rokok. aku merasakan lebaran untuk kali ini adalah lebaran yang beda dan tidak seperti lebaran-lebaran sebelumnya. Bila aku bandingkan momen lebaran tahun kemaren ak sangat merasakan jembarnya swasana, damainya hati dan hanya kebahagiaan yang mungkin saja mendominsi dalam diri ku. Sehingga terlihat benar satu senyuman kecil ada di bibirku.
Aku seperti menjadi seorang individu yang terasing dengan lingkungannya. Menjadi seorang individu yang lagi tidak ingin tahu akan apa yang terjadi di sekelilingnya. Dan pembenaran aku untuk saat ini adalah perubahan yang ada diluar diriku yang menjadikan aku menjadi seperti ini. Perubahan yang mengharapkan prilaku dalam diri ini berubah tapi tidak paham dengan arah perubahannya. Ak menjadi seseorang yang lebih tertutup seolah aku tidak lagi memiliki hak untuk mengisakhan segala yang pernah terjadi dan menimpa diriku.
Mengenai hari raya lebaran kali ini, sebenernya ak lebih merasakan keprihatinan yang sangat. Mengenai adanya perbedaan waktu yang terjadi di agama islam dan hal ini jelas membuat aku merasa miris melihatnya. padahal bagaimanapun adanya, seharusnya setiap waktu yang kita lalui akan seelalu saling menyesuaikan dengan ruang. Sehingga kita bisa menemukan ketetapan yang sesuai dengan realitasnya sebenarnyas. Untungnya saja dalam ajaran islam hal perbedaan bukan merupakan sesuatu yang harus dibesar-besarkan hingga berujung pada konflik sesame muslim. Islam memang mangajarkan akan arti keindahan dalam perbedaan.
Memang dalam hal ini pemerintahlah yang punya kewnangan untuk menetapkan dan memutuskan kapan hari raya itu bisa kita rayakan. Akan tetapi disisi lain mengenai masalah keyakinan bukan merupakan hak pemerintah untuk menentukannya. Karena bagaimanapun juga bila sudah menyangkut soal keyakinan hanya individu-individulah yang berhak menentukannya.
Dan hal yang membuat ak paling gundah bila melihat momen penetapan hari raya ini justru terletak pada hal menetapkan kapan kita harus merayakan perayaan ini. Seperti ada hal yang tak pernah bisa aku terima saat pemerintah menetapkan kapan kita di perbolehkan merayakan perayaan hari raya ini. Bukannya ak tidak percaya dengan pemerintah hanya saja, aku berpikiran bagaimana jika penetapan tanggal jatuhnya hari raya itu beda dengan realitas yang sebenarnya.….
Pada penanggalan tahun hijriah yang menjadikan bulan sebagai landasan untuk menghitung sebagai tahun untuk mengingat dimulainya hijrah rasullullah. Dan segala momen kejadian yang pernah dialami dan di nyatakan oleh rasul, maka dalam menetapkan penanggalan seharusnya pemerintah juga mempertimbangkan dan melihat momen-momen lainnya yang terjadi selama satu tahun. Ada pun momen momen tersebut seperti halnya malam LAILATULLQODR (yang dipercayai sebagai malam diturunkannya Al-Quran di malam ke 17 bulan Rhamadan),atau momen malam NISFU SYABAN(yang di percaya sebagai malam seribu berkah, dan pada moment malam tersebut bagi sebagian kalangan percaya bahwa disanalah malam tepat terbukanya pintu langit).
Pikiranku apakah momen momen tersebut hanyalah sebagai sebuah cerita kosong belaka yang tak akan pernah bisa kita buktikan kebenarannya, jika pun benar cerita itu memang nyata. Siapa saja yang pernah menyaksikan momen malam tersebut. Dan yang pasti, jarang sekali orang yang berani mengungkapkan akan kebenaran hal itu, karena sebagian mereka yang pernah mengalami dan membuktikan tak akan punya keberanian untuk memaparkannya. Sehingga menimbulkan kesan cerita seperti itu hanya sebatas cerita bualan saja, dan cerita itu hanya berlaku bagi kalangan orang yang sudah ma’rifat pada allah atau kalangan “tertentu saja”…
Sampai saat ini, aku sendiripun belum pernah menemukan orang yang sanggup menyatakan akan kebenaran moment LAILATULQODR dan NISFU SYA’BAN, karena ak sendiripun hanya baru mendengar bahwa penanggalan yang ada saat ini memiliki perbedaan waktu antara satu sampai dua hari dari waktu terjadinya moment tersebut. Coba saja bayangkan jika pernyataan yang pernah ak dengar tersebut merupakan kebenaran yang sesuai dengan terjadinya moment nisfu sya’ban dan lailatul qodr. Berarti secara tidak langsung, sebagian besar umat yang beragama islam tak akan pernah bisa sekalipun membuktikan kebenaran sebuah momen yang dianggap sangat istimewa dalam dunia islam, padahal momen tersebut ada dalam penanggalan agama islam. Akan tetapi tidak ada hal yang idak mungkin bagi sangpencipta, hingga ak percaaya bagi orang orang yang di percaya oleh sang pencipta agar bisa menyaksikan kebenaran itu moment tersebut pasti bisa di buktikan kebenarannya.
Mungkin saja, sebagian besar masyarakat kita dan sebagian para ulama yang duduk di dalam pemerintahan sudah tidak lagi bisa mendengar akan bahasa yang sudah di ungkapkan oleh alam. Atau mungkin juga sebagian besar dari kia sudah tidak lagi belajar mendengar bahasa alam. Sehingga kita seperti terasing dan tidak lagi saling mengerti akan kebutuhan masing masing. Dan apakah kita hanya mengamini cerita-cerita yang tak pernah kita alami untuk kita jadikan kebenaran. Apakah kita sudah tidak lagi tertarik untuk menemui kisah kisah yang dialami oleh para pendahulu kita. Bukankah kita diberi hak yangsama oleh sangpencipta untuk mengungkapkan tabir ke Esa an nya. Atau mungkin kita yang asik membatasi diri untuk menjadi bagian yang terpisah dari penciptaan.

Rabu, 25 Agustus 2010

sekitar nama

Makna Bagi Yang Menyandang Nama
Setiap individu memiliki identitas yang tersusun dari sejumlah unsur. Unsur tersebut tidak terbatas pada hal-hal khusus seperti yang tercantum dalam catatan resmi. Seperti halnya KTP yang memuat nama si pemegang kartu, tanggal, tahun serta tempat kelahiran, jenis kelamin, golongan darah, agama, alamat, serta tercantumnya foto kita dalam selembar kartu identitas kependudukan. Definisi seperti ini merefleksikan sebuah gagasan yang cukup presisi. Sebuah gagasan yang secara teori mestinya tidak menimbulkan kebingungan. Sungguhkah kita membutuhkan arguman yang panjang lebar untuk membuktikan bahwa tak ada dan tak bakal ada dua individu yang identik (Maalauf, 2004:10).
Sebagai salah satu identitas yang ada di dalam diri, yang banyak tidak dimaknai oleh sebgaian besar si penyandang. Maka sebuah nama terkesan tidak memiliki makna apapun karena hanya digunakan untuk memanggil, menyapa dan menjadi pembeda dengan orang lain. Asmarudin mengungkapkan :
“Sebuah nama, pastinya akan bermakna jika seseorang memperlakukannya “lebih” dalam artian tidak hanya sebatas digunakan untuk difungsikan. Saya sendiri menganggapnya, biasa saja sih, dan tidak telalu memikirkannya juga. Saya sendiri tidak pernah juga bertanya kepada orang tua saya, kenapa diri saya diberikan nama asmaudin. Cuman…! Yah, saat orang lain dan keluarga besar saya memanggil dengan nama asmarudin saya pasti menoleh.
Saya sendiri kadang tidak terlalu bangga dengan nama yang diberikan oleh orang tua, malahan saya lebih bangga dengan nama panggilan keseharian saya. Karena nama panggilan yang lebih terkenal ketimbang nama asli saya. Karena terkenalnya dari berbagai kalangan tersebut kebanggan sebuah nama itu ada. dan saya yakin dalam nama panggilan yang lain pun selain nama Dayak, belum tentu di kenal juga.

Sebagai sebuah hadiah pertama yang diberikan orang tua, sebuah nama akan memiliki kesan yang sangat istimewa. Maka sebagai sebuah konsekwensinya si penyandang harus bisa menjaga dengan baik nama yang sudah dihadiahkan. Asep Lindu Nugraha manganggap nama yang sudah diberikan oleh orang tuanya merupakan sesuatu hal yang istimewa :

“Bagai saya, sebuah nama bila dirasakan dan dipikirkan seolah nama yang saya sandang memberikan sebuah nilai cukup untuk dirasakan dan susah diungkapkan.
Saya menyadari, mencari nama dan memberikan nama untuk anak itu gampang-gampang susah setelah saya punya seorang anak. Saya terkadang membandingkan antara nama saya yang sudah diberikan oleh orang tua dengan nama anak saya yang saya berikan sendiri. Semoga saja anak saya nanti bisa merasakan sebuah sepirit nilai dari nama yang sudah saya berikan. Yah minimal saja dia bisa bangga dengan nama yang sudah disandangnya”.

Pada realitasnya sebuah nama yang disandang memiliki kaitan yang erat dengan prilaku seseorang. Sebuah nama di masyarakat bisa dijadikan sebutan untuk mengingat akan kelakuan baik-buruknya seseorang. Sebuah prilaku yang kurang berkenan di masyarakat maka akan berdampak pada namanya, walaupun sebenarnya nama yang disandangnya memiliki arti yang baik.

sekitar nama

Makna Bagi Yang Mmberikan Nama
Hingga akhir abad ke-20 kebanyakan orang Indonesia tidak memiliki nama keluarga. Biasanya anak-anak mewarisi nama ayah mereka (atau ibu mereka di kebudayaan Minangkabau). Wanita yang menikah sebagian mengadopsi nama suami mereka, namun tidak jarang yang tetap menggunakan nama belakang mereka, atau sama sekali tidak mengadopsi nama suami mereka. Maka dari itu seringkali suami istri memiliki nama belakang yang berlainan (hidayat, Koran Seputar Indonesia:11 Juli 2008). Nama anak dalam setiap keluarga memiliki banyak sekali variasi. Rakyat Sumatra Utara memiliki nama klan mereka sendiri-sendiri, rakyat Jawa sebagian hanya memiliki nama tunggal (kadang-kadang diikuti nama ayah mereka /patronymik), orang Tionghoa-Indonesia memiliki nama Tionghoa dan juga nama Indonesia, di Bali dengan nama yang disandang oleh warganya sangat khas, karena juga menunjukan salah satu tingkatan anak di dalam sebuah keluarga.
Pemberian nama belakang pada anak dengan nama ayah, sangat jarang dijumpai. Walaupun ada yang menyandangnya, hal tersebut semata dikarenakan latar belakang pendikan, pengetahuan serta pergaulan seseorang dengan dunia luar. Seperti halanya dalam keluarga Pak Endang Kasmiun, yang menyertakan namanya di belakang nama anak-anaknya atau pada keluarga H. Bahtiar yang juga menyertakan nama beliau di belakang nama anak-anaknya.
Umumnya di masyarakat Balaraja, aturan dalam memberikan nama pada anak sudah dianggap akan mewakili identitas keluarga. kesamaan karakter huruf yang sama dengan nama yang di miliki oleh orang tua, dijadikan sebagai salah satu alasan akan pemberian identitas yang tercermin dalam sebuah nama. Seperti yang diungkapkan oleh Pak Umar :
“Jadi penggunaan nama orang tua di belakang nama anak kesannya, sudah seperti orang- orang yang tinggal di kota saja. Bagaimanapun juga yang namanya orang desa yah tetap saja, nama yang diberikan kepada anakpun dengan menggunakan cara-cara desa. Untuk merubah sebuah adat sih sebenarnya bisa-bisa saja, cuman masalahnya kalau aturan itu kita rubah dan kita ganti dengan yang baru belum tentu hasilnya baik. Jadi sampai saat ini, saya sendiripun masih menjalankan aturan yang diwariskan dari orang tua saya dahulu. Bagi orang lain saya rasa sah sah saja dengan memberikan nama mereka di belakang nama anaknya, agar lebih terlihat modern dan beda”.

Setiap orang tua akan memiliki alasan sendiri dalam memberikan nama pada anaknya. Hanya saja kebebasan tersebut terbatasi oleh tata-cara dan aturan dalam memberikan nama pada anak. Tata-cara dalam memberikan nama merupkan sebuah aturan yang tidak tertulis yang bersifat tidak baku yang berlaku di masyarakat. Melalui aturan inilah yang menudian menjadikan sebuah nama dalam kelompok masyarakat secara garis besar akan memiliki kemiripan.
Nilai-nilai dalam pemberian nama dari orang tua biasanya akan terlihat dari nama yang dikenakan oleh setiap penyandangnya. Nilai tersebut tentunya juga merupakan sebuah do’a dari orang yang memberikan nama. Sebagai sebuah refresentasi akan suatu nilai yang sudah diberikan, tanpa disadari keberadaan sebuah nama akan memiliki arti yang penting dalam sebuah kelompok masyarakat. Adapun kandungan nilai dalam sebuah nama umumnya yang tersebar di masyarakat Balaraja yakni adanya harapan dan untuk mengingat sebuah peristiwa/kejadian (moment).